Media Analis Indonesia, Jakarta – Respon cepat Bareskrim Polri terkait laporan pengusaha muda Tangerang, Budi Priyantono atas dugaan kriminalisasi yang dilakukan jajaran Polres Metro Tangerang Selatan (Tangsel) direspon positif oleh Komisi III DPR RI.
“Kita patut apresiasi respon cepat Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Wahyu Widada atas kasus dugaan kriminalisasi ini,” ujar Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil di Jakarta, Sabtu (27/4/2024).
Legislator Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menegaskan, pada kasus tersebut pimpinan Polri bisa melakukan evaluasi melalui gelar perkara di Polda Metro Jaya (PMJ). Dengan mengundang semua pihak yang berselisih, baik tersangka dan pelapor.
“Jangan melakukan upaya praperadilan. Kan Polri punya mekanisme penghentian perkara (SP3). Pimpinan bisa melakukan gelar perkara di Polda,” tegasnya.
“Undang semua pihak (tersangka dan pelapor). Di sini bisa dilakukan evaluasi terkait kasus,” imbuhnya.
Selain mengadu ke Komisi III DPR RI, Budi Priyantono juga melaporkan kasus yang menimpa dirinya ke Kompolnas, Propam Mabes Polri, Polda Metro Jaya dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Saya sudah melaporkan kasus ini ke LPSK beberapa waktu lalu dan saat ini sedang dalam proses melengkapi sejumlah berkas yang diperlukan,” ujar Budi Priyanto, Kamis (25/4/2024) lalu.
Komisaris PT. Sampurna Sistem Indonesia ini mengaku pihaknya meminta perlindungan ke LPSK karena dasar tuduhan terhadap dirinya dan penempatan dirinya sebagai tersangka kasus penipuan dan penggelapan terhadap PT KBU jelas tidaklah berdasar.
Karena, menurut dia, justru PT KBU lah yang melakukan wanprestasi terhadap dirinya, sebab belum membayar sisa tagihan sebesar Rp1.966.776.700.
“Mereka yang belum membayar hutangnya pada perusahaan saya mengapa saya dituding menggelapkan mesin dan melakukan penipuan kepada mereka. Anehnya lagi Polres Metro Tangsel malah melakukan kriminalisasi dengan menetapkan saya menjadi tersangka kasus penipuan dan penggelap,” katanya.
Dia menyatakan awal masalah ini terjadi saat PT KBU memesan mesin-mesin berdasarkan SPK No. 013/Pcs-KBU/VII/20 tertanggal 23 Juli 2020, SPK No. 12/Pcs-KBU/VIII/21 tertanggal 26 Agustus 2021, dan SPK No. 010/Pcs-KBU/VI/21 tertanggal 18 Juni 2021 dengan total harga Rp. 5.078.205.000 dan hanya melakukan pembayaran 2 termin yaitu DP dan before delivery dan masih hutang PT Rp. 1.966.776.700.
Namun pada perjalanannya, karena PT KBU mangkir membayar pelunasan senilai Rp. 1.966.776.700, dirinya melakukan PKPU terhadap perusahaan tersebut dan melakukan somasi 2 kali ke PT. KBU, namun tidak ada respon, malahan kami dilaporkan di Polres Tangsel dan Polda.
Anehnya, kata Budi, penyidik Polres Metro Tangsel malah menetapkan dirinya sebagai tersangka melalui Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor : B/1156/III/RES.1.11./2024/Reskrim tertanggal 28 Maret 2024.
“Saya merasa penetapan tersangka atas diri saya ini merupakan upaya kriminalisasi yang dilakukan oknum penyidik dan PT KBU dengan mengesampingkan semua fakta dan bukti atas perkara hutang piutang antara saya dengan PT. KBU. Padahal faktanya sayalah yang dirugikan dalam perkara ini karena mesin-mesin yang dibeli oleh PT. KBU tak pernah dilunasi sisa pembayarannya,” ujar Budi.
Apalagi dirinya juga pernah melaporkan perkara ini melalui Pengaduan Masyarakat ke Kepala Biro Pengawasan Penyidikan Bareskrim Polri melalui Surat Nomor : 051/SSI/PH/VI/2023 tertanggal 9 Juni 2023 dan sudah digelar perkara secara khusus oleh Biro Wassidik Bareskrim Polri pada tanggal 12 juli 2023.
Dalam gelar perkara tersebut, Ahli Pidana menyatakan tidak menemukan adanya unsur pidana dalam laporan polisi oleh PT KBU dan saya kemudian menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Penanganan Dumas (SP3D) Nomor : B/12139/IX/RES.7.5./2023/Bareskrim tertanggal 29 September 2023 yang isinya memberi petunjuk dan arahan kepada penyidik agar melakukan pemeriksaan konfrontir.
“Namun penyidik Polres Metro Tangsel tidak melakukannya. Sehingga saya menduga ini merupakan upaya kriminalisasi terhadap saya. Bahkan penyidik mengarahkan saya untuk mengajukan Restorative Justice padahal, berdasarkan SP3D, hasil gelar perkara khusus harus dilaksanakan oleh penyidik dan bukan melakukan Restorative Justice,” katanya.
(*/DY)